Kopi

Bab 1

“Aahh…sshhh…terus yang…ahhh…mmppphhh”

Sepasang insan manusia yang dilanda gairah sedang bergumul dan saling menyatu di suatu kamar yang berhiaskan warna biru, dipadu dengan kain dan selimut yang berwarna biru menambah ke-eksotisan kamar yang terlihat sangat rapi dengan perabotan dan aksesoris cantik.

“Ssshhh…enak banget sayang…ahhh…ahhh..mmppph” erangan erotis seorang wanita terdengar menggema di setiap sudut ruangan menambah kagairahan yang sedang berlangsung.

“Ahhh…katanya mao nyalin tugas…ahh..mmpphh…nakal banget sih kamu yang…ahhh..terusin yang”

Sesosok pria tegap terlihat sedang mengayuh birahi dengan gairah yang menggebu-gebu. Tangannya pun tak henti terus meremas-remas payudara yang berguncang-guncang mengikuti irama kayuhan sang pria, sambil memilin putingnya yang berwarna kecoklatan yang menggoda setiap iman pria manapun, kecuali maho, membuat sang wanita terasa begitu menggila menahan reaksi kenikmatan birahi yang terpancar di setaip lekuk tubuhnya yang dibaluti payudara yang besar bagai buah pepaya dan bulu-bulu kemaluan yang terlihat begitu rindang menutupi sang gerbang surga duniawi yang sedang meremas dan mengulum sebuah batang perkasa yang terus bergerak mengaduk-aduk seluruh relung bagian dalamnya. Gerakan yang membuat tubuh keduanya di lamuri oleh keringat yang mengalir deras walau di tengah terpaan dinginnya hawa pendingin ruangan.

“AAAhhhhh…enak banget yang…terus yang” sang wanita terus menerus merintih melepaskan gairah yang terus terkumpul seiring hentakan-hentakan sang pria.

Sang pria kemudian mengangkat tubuh bagian atas sang wanita tanpa melepaskan himpitan nikmat gerbang surgawi sang wanita. Mereka berganti posisi dimana sang Wanita sekarang yang memegang kendali, tanpa ingin kehilangan momen yang berharga mulai menggerakkan pinggulnya memutar, menekan dan menaik turunkan bagaikan sebuah piston mesin yang menderu dengan keras.

“Ahhh…nikmat sayang…aku ga tahan lagi…aku mau keluar yang” rintih sang wanita.

Goyangan yang semakin cepat dari sang wanita menambah kenikmatan bagi sang pria yang terlihat begitu menikmati goyangan birahi sang wanita.

“Haaahhhh…aku keluar yang…aaaahhhhhh..ahhhhh…aaaaahhhhh” rintihnya mengimbangi kemaluannya yang terasa mengejang meremasi batang perkasa sang pria yang membuat sang pria kelojotan menahan gairah yang tak terbendung.

“Ahhh..gw juga ga tahan Mer…gw ma keluar nih” ujar sang pria, namun sang wanita dengan segera melarangnya untuk orgasme di dalam kemaluannya. “Jangan di dm yang…bentar di mulutku aja” ujarnya sambil melepaskan penis sang pria kemudian langsung memasukkannya ke dalam mulut mungilnya dan langsung menyedot dan mengulum.

“Aaahhh…Mer gw keluar” teriak sang pria yang tak lain tak bukan adalah Gilang, sang sahabat Sandi dan Robi.

“Crot..crot…croott…semprotannya terasa kuat di mulut sang wanita yang bernama Merry sampai dia hampir tersedak.

“Hhmppphhh…enak bener Mer kempotan lu” ujarnya sambil mengusap rambut Merry yang sedange mengulum menerima semprotan sperma darinya.

“Glek…” Merry kemudian menelan semua sperma Gilang yang tertumpah di dalam mulutnya.

“Banyak amat yang sperma kamu yang” ujarnya sambil menyeka mulutnya dengan tisu yang ada di samping tempat tidur biru sang wanita. Sementara sang pria hanya tersenyum sambil mengusap rambut sang wanita.

Aku pun tersenyum. Puas sekali rasanya. Tanganku penuh sperma hasil perbuatan… Ah, sudahlah. Sprei kasurku pun tak luput darinya. Tubuh telanjangku lemas sendirian di dalam kamar ini. Lega sekali rasanya hati ini.

Aku? Hehehe, perlu gak kenalan dengan kalian? Rasanya gak banget deh. I just random people from random country. Jadi ngapain juga kenalan dengan kalian hehehe.

Oh, iya. Barusan aku baca cerita dari sebuah forum. Cakep sih ceritanya, bikin aku terpesona. Romantic scene nya bikin otong bangun. Akhirnya tangan kananku lah yang berbicara. Ujung-ujungnya sprei kasurku yang jadi korban. Untungnya kamarku lumayan privat. Orang-orang di kostku rata-rata cuek bebek dengan tetangganya. Maklumlah pekerja. Masuk pagi, pulang malam. Aku?

Oh, ya. Aku sendiri bekerja sebagai marketing di… Ah sudahlah. Nanti aja kenalannya. Toh nanti kalian tau sendiri kerjaanku apaan.

Oke, kembali ke aktivitasku. Setelah puas, sekaligus lemas dengan self service ku, aku pun mulai beranjak ke kamar mandi. Untung pula ada kamar mandi di dalam kamar, jadi gak perlu ribet pasang celana lagi kalau mau masuk hehehe.

Apa? Aktivitas kamar mandi? No no no no! Jangan harap aku menceritakan coliku di kamar mandi. Not good man. Not good! Oke! Skip aja lah. Lanjut setelahnya ya.

Badanku segar sekarang, sesegar pikiranku. Sekilas kulihat laptopku, hendak kusentuh, gak jadi ah. Males, isinya kerjaan mulu. Kalau gitu keluar aja apa ya. Perut juga keroncongan setelah dua ronde self service berturut-turut. Oke lah kalau begitu. Kita keluar, cari makanan.

Aku pun memulai langkahku menyusuri jalanan sempit nan ramai. Langkahku ringan. Bibirku bersiul, sok cuek dengan sekitarku yang seolah sedang menanggung beratnya beban kehidupan sebuah kota besar. Jarak setengah kilometer bukanmasalah bagiku untuk berjalan kaki. Sudah terlalu biasa buatku melangkah di jalanan dengan panjang berkali-kali lipat. Eh, sebenarnya enggak gitu juga sih, jalan berapa meter, terus berhenti, duduk, lanjut lagi jalan, duduk lagi, naik motor, jalan lagi, duduk lagi. Seperti itulah yang sebenarnya.

“Bi Yem, nasi campur, satu ya. Seperti biasa,” ujarku kepada ibu pemilik sekaligus penjual nasi langgananku.

“Iya To. Gak mau coba tumis jengkol sepecial tah?”

“Enggak wis, terima kasih. Menu biasa aja bi.”

Tak seberapa lama satu piring nasi dengan menu yang menggugah selera pun tersaji di depanku. Segera kusikat habis makanan itu. Hanya butuh waktu lima belas menit lebih sedikit…

“Dua puluh lima menit,” sanggah Bi Yem.

“Iya deh, dua puluh menit. Perhitungan banget!”

“Iya lah. Kalo gak gitu, bisa bangkrut akunya.”

“Terserah dah Bi. Ngalah aja deh sama situ.”

“Harus lah hahahaha.”

Dua puluh menit lebih dikit kemudian, seporsi ukuran kuli nasi pun tandas dari depanku. Begitu pula gelas besar di samping piring nasi, yang sebelumnya penuh terisi teh manis hangat, kini kosong melompong. Menyisakan kekenyangan begitu saja di perut sexyku.

Sexy? Ehem. Sexy sih sebenarnya. Dengan sedikit buntelan lemak di sana sini hehehe. Gak banyak kok. Gak sampai kategori obesitas. Itu yang penting! Hahahaha.

Woi To. Piye kabare? Manukku wis payu ta?” tiba-tiba saja suara cempreng melengking dari belakangku.
(Woi To. Gimana kabarnya? Burungku sudah laku kah?)

Woi Bo. Uwes wingi. Rongatus seket. Iki duwike. Arep tak kekno nang kono eee tibakno ketemu awakmu ndik kene. Syukur wis, gak adoh-adoh mlaku,” aku merogoh saku celana, lalu memberikan lima lembar uang lima puluh ribuan kepada Kebo.
(Woi Bo. Sudah kemarin. Dua ratus lima puluh rupiah. Ini uangnya. Mau tak kasihkan ke sana, eee ternyata ketemu dirimu di sini. Syukurlah, gak perlu jalan jauh-jauh)

“Huwaaa…. Itu baru teman. Bisa jual barang bagus dengan harga di atas pasar. Memang benar-benar hebat kamu To. Biar makanmu kali ini tak traktir dah.”

Woooo….. Suwun Bo. Itu baru pren hahaha.

Aku pun tertawa puas. Begitu pula Bejo. Hanya karena burungnya laku dengan harga di atas harga pasar, bangganya bukan main. Padahal keuntungan lima puluh ribu dari jualan burungnya tidak pernah kusampaikan kepadanya. Aku sih ketawa geli sendiri. Dalam bungkus palsu tentunya.

Aku kost di kampung dekat pasar. Ya, bukan pasar besar sih, semacam pasar krempyeng*) gitu lah. Tapi lebih besaran yang ini sih. Jadi kalo pagi dari habis subuh gitu rame, di atas jam sebelas sudah sepi. Lha gang tempat kostku itu di dekat jalan menuju ke sana. Jadi mau gak mau setiap pagi aku harus menikmati berisiknya lalu lalang orang berjalan kaki sambil ngobtol entah apaan gak karuan jeluntrungnya gitu. Lha kamarku kan agak deket sama jalan, walaupun gak lanfsung ngadep sih, tapi suaranya itu lho… Ya lumayan lah, bisa jadi alarm alami, atau… Anggap aja gantinya burung berkicau, hahaha.

Ah, kost-kostan. Tanggal merah di hari senin berarti libur panjang. Artinya penghuni kostan yang rata-rata… Eh, semua nding, berprofesi sebagai karyawan tentunya memanfaatkan momen-momen seperti ini. Entah untuk rekreasi ke luar kota, atau mungkin pulang ke kampung halaman. Kecuali aku. Yup. Aku ini anak siapa juga gak jelas. Tau-tau kecil dan tumbuh di panti asuhan. Kujalani hidup bersama dengan pengasuh yang memberi welas asih, dimomong kakak-kakak sepenanggungan, bermain bersama dengan teman-teman seusia, hingga membimbing adik-adik yang bernasib sama denganku. Entah kenapa adaaaa aja orang tua yang tega ninggalin anaknya begitu saja di jalanan. Kalau memang kalian gak mau punya anak, mbok ya jangan bikin. Daripada terlantar seperti kami.

Oke, kembali lagi ke laptop. Long weekend kan berarti kost sepi. Jadi aku bisa lebih bebas di sini. Bebas? Sebenarnya sih tiap hari juga bebas bebas aja di sini. Lagipula penghuninya kan juga cuek bebek ama sekitar. Tapi, kalo sepi gini kan lebih enak. Mau nungging kek, mau telanjang kek, mau goyang kayang kek, semua bebas kulakukan. Bahkan di luar kamar sekalipun! Seperti sekarang, aku masak mie gak pake pakaian sama sekali hahaha. Napa? Ngiri lu?

Ctek… Ctek… Blub…

Sambil menunggu air masak, kubuka bungkusnya. Kutuangkan bumbu-bumbunya ke dalam piring. Aromanya… Hmmmm…. Menggoda banget. Oke, masukkan bumbu sudah. Enaknya ngapain lagi ya? Ah, goyang gojek aja ya! Sip dah kalo gitu. Ayo maaang tarik maaang. Tapi, lagunya mana? Halah, nyanyi sendiri napa sih. Oke deh kalo gitu. Let’s rock yo!

“Shelaaamat malam duhai kekaaasiiih, sebutlah namaku sebelum tiiiduuur….. Ayo goyang dumang, biar hati senang, pikiran melayang badan jadi ringan… Uwooooooo….” nah, tuh kan airnya udah masak. Sekarang kita masukkan mie!

Waduh! Lagi enak-enaknya masak mie telanjang gini, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari lantai dua. Aku langsung panik, pikiranku yang terbaik adalah lari masuk kamar sambil cari apapun yang bisa nutupin benda pusakaku. Kusambar apapun yang ada di dekat tangan kananku, kututupkan dengan cepat ke selangkangan, lalu hanya dalam hitungan detik, aku meraih gagang pintu, membukanya, dan masuk kamar. Baru kusadari sesuatu: tangan kanan yang kubuat megang barang tadi, jadi hitam. Lebih parah lagi: titit, eh pare berotot alias batang berurat aka benda pusakaku menghitam. Benda yang kuambil ternyata nampan kecil bekas tempat arang untuk bakar ikan 3 malam yang lalu. Siaaaaaaal!

Oke, sekarang bukan waktunya panik. Aku gak boleh panik. Aku harus tenang….

Tenang….

Tenang….

Tenang….

Oke, sekarang aku lebih tenang. Hal pertama yang harus kulakukan adalah mencuci dedek kecilku yang malang. Maka dari itu aku menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, aku langsung mengambil air, membasahi junior, terus menyabuni sampai bersihh. Rasanyaa geli geli gimanaaa gitu. Tapi enak. Usap lagi kepalanya, kena lehernya… Uuuhhh….

Hehehe maaf keterusan. Abis enak sih. Sampai crot pula hahaha. Entah berapa kali seharian ini kukeluarkan spermaku sia-sia. Lumayan lah agak lega sekarang. Next, aku pakai celana, kembali lagi ke… Mie ku!!! Gawat!!!

catatan kaki said:
Pasar Krempyeng adalah pasar tradisional dengan skala kecil. Barang-barang yang diperdagangkan di sini akan habis sekali jual. Biasanya makanan ataupun bahan masakan. Pembelinya sebagian besar masyarakat kampung di sekitar pasar. Kadang ada orang luar juga, tetapi jarang, paling juga hanya satu dua orang saja. Pasar ini dibuka mulai pagi sekitar habis subuh hingga pukul 08.00 jangka waktunya sangat pendek sekali. Namun sekarang ini Pasar Krempyeng sudah berubah karena tidak hanya pada pukul 08:00 saja jam kerjanya namun sekarang sampai pada pukul 11.30.

Related posts